Kamis, 14 Oktober 2010

Tahapan Perkembangan “Bicara” Bayi


Dari interaksi sehari-hari, Anda pasti tahu bayi punya bermacam cara untuk mengekspresikan diri. Salah satunya, “bicara” lewat tangisan atau suara-suara yang bikin gemas. Untuk bisa “ngobrol” dengan bayi, Anda harus ingat prinsip 2R (recognize dan responds).

Recognize atau kenali isyarat si bayi. Tanya pada diri sendiri, “Kira-kira bayiku mau ngomong apa ya lewat matanya, mimiknya, gerak tubuhnya, atau suaranya?”
Responds atau tanggapi selalu isyarat komunikasi bayi. Jadi jangan pernah lupa, “Si kecil ingin ngomong sesuatu, tuh.” (dikutip dari: “Building Conversation”, www.babyhearing.org)
Supaya Anda bisa memberikan respons yang tepat, paling tidak ketahui dulu tahapan-tahapan kemampuan “bicara” bayi. Dengan begitu, Anda makin peka menangkap pesan-pesannya.
BARU LAHIR: MENANGIS
Menangis adalah “percakapan sosial” pertama sang bayi. Tangisan di bulan pertama terdengar monoton, baik ketika ia lapar, sakit, ataupun merasa tak nyaman. Melalui tangisan, bayi berinteraksi dengan lingkungan. Ia tengah berkomunikasi untuk menyampaikan kebutuhannya kepada orang lain.
Sebaliknya, dengan menangis si kecil belajar, setiap tangisan ternyata punya makna tersendiri. Penggunaannya berbeda-beda dan bisa ditangkap maksudnya oleh orang lain.
1-4 BULAN: BAHASA TUBUH DAN SUARA VOKAL (smiling, cooing)
Sampai usia 4 bulan, bayi masih banyak berkomunikasi dengan cara menangis. Namun di usia 1,5 bulan si kecil mulai memunculkan tangis yang berbeda-beda. Tangisannya tidak lagi monoton seperti ketika baru lahir. Contoh:
·         Bila sakit diungkapkan dengan tangisan melengking keras diselingi rengekan dan rintihan.
·         Bila merasa tak nyaman akibat kepanasan atau cari perhatian umumnya bayi mengeluarkan rengekan yang terputus-putus.
·         Tangisan lapar terdengar keras dan panjang diselingi gerakan mengisap pada mulut mungilnya.
Di usia ini, selain menangis bayi berkomunikasi dengan menggumam bunyi vokal meski belum begitu jelas. Umumnya terdengar seperti bunyi “aaah” atau “oooh”.
Ada juga yang bergumam “uuuh” dan “eeeh”. Gumaman ini biasanya keluar saat bayi “mengutarakan” perasaan, seperti senang atau tak suka. Ketika gembira diajak bermain, gumaman yang keluar mungkin bernada panjang “aaah”.
Gumaman ini sebetulnya merupakan hasil tekanan pada otot-otot bicaranya.
Di usia 4 bulan, bayi mulai tertawa nyaring dan mampu mengeluarkan suara dari tenggorokan. Jadi, tak lagi hanya sebatas gumaman. Ia juga mulai mengekspresikan keterampilannya menunjukkan bahasa tubuh. Kendati bentuknya masih amat sederhana, seperti tersenyum saat memandang wajah orang yang dikenalnya, mengerutkan dahi ketika merasa tak nyaman, dan mulai memalingkan wajah ke arah sumber bunyi ketika dipanggil.
5-7 BULAN: KELUAR OCEHAN (babbling)
Di usia ini bayi mulai mengeluarkan suara ocehan pendek berupa suku kata (gabungan huruf mati dan huruf hidup), seperti “ba”, “da”. Ocehannya masih terbatas pada bunyi-bunyi eksplosif awal yang muncul karena adanya perubahan mekanisme suara.
Bayi amat senang dengan bentuk komunikasi berupa ocehan ini. Jika gembira bermain, bayi akan mengeluarkan ocehan yang lebih lama dan panjang. Ocehan ini kelak akan berkembang menjadi celoteh (memadukan berbagai suku kata) dan selanjutnya menjadi kata demi kata.
Di usia ini, bayi juga mulai belajar mengomunikasikan perasaannya tidak melulu lewat tangisan. Kalau ia tak suka, misalnya, ia mengeluarkan suara seperti melenguh. Sebaliknya, jika sedang merasa senang, ocehannya bertambah keras. Bahkan akan menjerit kesenangan meski belum dengan nada tinggi.
7-8 BULAN: OCEHAN MENINGKAT (babbling)
Ocehan bayi makin panjang, semisal “bababa” atau “dadada”. Kuantitasnya juga meningkat dengan cepat di antara bulan ke-6 sampai ke-8. Di tenggang waktu ini, orangtua diharapkan memberi stimulasi yang tepat dengan lebih sering mengajak bayi bercakap-cakap dalam intonasi naik turun dan ekspresif agar mudah ditangkap.
8-12 BULAN: KELUAR CELOTEHAN PANJANG (lalling)
Ocehan konsonan-vokal seperti “dadada”, “uh-uh-uh” dan “mamama” akan meningkat jadi celoteh yang maknanya dalam. Pertama, berceloteh adalah dasar bagi perkembangan berbicara. Kedua, celoteh adalah bagian dari komunikasi bayi dengan orang lain. Ini terlihat ketika ia mendapat respons terhadap celotehnya, bayi akan lebih giat berceloteh dibandingkan bila ia berceloteh sendirian. Ketiga, dengan berceloteh bayi merasa menjadi bagian dari kelompok sosial karena celotehnya ditanggapi. Ini akan membuat bayi mengembangkan rasa percaya dirinya yang kelak akan sangat menentukan kemandiriannya.
11-14 BULAN: KATA-KATA PERTAMANYA NYARIS LENGKAP (speaking)
Secara spesifik, bayi mampu mengucapkan satu patah kata yang berarti meskipun belum sempurna/lengkap, misalnya “ma” untuk mama, “pa” untuk papa, “num” untuk minum, dan “nen” untuk menetek. Di usia ini bayi juga sudah mampu melakukan tugas yang diminta seperti “lempar bolanya!” atau “ayo minum” sambil orangtua menunjuk benda yang dimaksud.
MEMBANTU BAYI BELAJAR BICARA
Kemampuan berbahasa yang baik akan muncul jika bayi rajin diajak bicara atau dilibatkan dalam aktivitas bersama.
Di usia 1 tahun, anak diharapkan sudah mampu mengucapkan 1-3 kata yang bermakna. Orangtua harus mulai waspada bila sampai usia 12 bulan, si kecil baru bisa mengoceh (babbling) atau malah baru mengeluarkan suara vokal “aaa” dan “uuu” yang tidak jelas artikulasinya. Jika hal ini terjadi, sangat dianjurkan meminta saran dokter atau psikolog. Biasanya mereka akan menunjuk seorang speech therapist (terapis wicara) untuk membantu orangtua memberikan stimulasi yang tepat.
Membantu bayi belajar bicara bisa dilakukan dengan cara seperti yang dijelaskan Lise Eliot, Ph.D. Beliau adalah penulis buku What’s Going on in There? How the Brain and Mind Develop in the First Five Years of Life (Bantam, 1999).
·         Sering mengajak bayi bicara
Jangan dulu membayangkan padatnya jadwal mendongeng, mengulang-ulang alfabet, atau membalik-balik “flash card” di hadapan si bayi, sebab ayah dan ibu hanya perlu mengajaknya ngobrol. Kapan ngobrol-nya? Sejak bayi lahir, sampaikan apa yang sedang Anda lihat, dengar, atau lakukan dengan kata-kata. Begitu pula, tanggapi selalu ajakan berkomunikasinya entah itu berupa tangisan, gumaman, ocehan, atau celotehan. Tujuan keduanya agar ia merasa dilibatkan.
Lewat percakapan yang “bodoh” sekalipun, kepekaan awal bayi untuk mendengar kata-kata akan meningkat. Misalnya, “Halo Sayang, tunggu sebentar ya, Ibu siapkan ASI untukmu.” Atau, ‘Lihat nih, Ayah baru pulang dari kantor. Wah, tas Ayah berat. Kamu mau bantu angkat, Sayang?” Mendengar percakapan akan membantu meningkatkan sensitivitas awal bayi pada kemampuan berbicara. Ia juga mulai belajar mengenali suara ayah-ibu berikut intonasi yang beragam.
·         Bermain bersama
Bermain merupakan aktivitas yang menyenangkan. Bermain sekaligus juga mengajari bayi pentingnya membina hubungan sosial. Bukankah bermain mengajarinya mengenal aturan dan kebersamaan? Setiap kali Anda bermain dengannya, kenalkan aturan permainan dan jangan ragu untuk menyampaikannya. Ketika bermain cilukba, misalnya, terangkan, “Ibu akan menutup matamu ya. Kalau Ibu bilang ‘cilukba’, buka matamu ya.” Dengan mengulang-ulang secara rutin, bayi akan memahami aturan permainan. Pada akhirnya dia juga akan mengerti bahwa aturan bersama (social agreement) sering kali dijabarkan lewat kata-kata.
·         Tunjukkan rasa cinta
Dalam situasi penuh cinta, bayi akan mampu belajar banyak. Kenapa? Karena ekspresi cinta mendorong orangtua untuk bicara dan bertindak dengan cara yang menyenangkan juga membangkitkan antusiasme si kecil.
Penelitian yang dilakukan Eliot mengungkapkan, anak-anak yang cerdas bertutur dan memiliki banyak perbendaharaan kata umumnya punya orangtua yang sering mengajak mereka berdiskusi, bahkan sejak bayi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar