Sabtu, 15 Juni 2013

Zona nyaman

Kita semua gembira dan bangga dengan prestasi ini. Prestasi adalah muara, ujung akhir dari sebuah proses yang panjang. Proses ini biasanya dipenuhi dengan kerja keras, perjuangan, keprihatinan, pengorbanan, dan sebagainya. Yang ingin saya soroti dalam catatan ini adalah ujung awal dari proses menuju prestasi itu.
Saya kenal dengan Kalih, Sonny, dan Syukron, ketiga mahasiswa JTETI. Dulu pada saat pertama kali bertemu mereka, kesan pertama yang muncul adalah bahwa mereka adalah anak-anak yang lugu dan culun. Kesan saya, yang ada dalam pikiran mereka hanyalah kegiatan-kegiatan mainstream yang biasa dilakukan mahasiswa: kuliah, praktikum, nge-net, menjadi penggembira di kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, dan sedikit bersenang-senang.
Dengan kondisi awal seperti itu, saya membayangkan, untuk menetapkan niat dan memotivasi diri mengikuti lomba semacam Imagine Cup pasti perlu usaha yang cukup keras. Mengapa demikian? Karena pada saat berniat ikut lomba yang tingkat kompetisinya begitu keras, di bayangan mereka pastilah muncul keharusan untuk bekerja keras, berlatih tekun, memupuk kesabaran, dan berkorban. Dan semuanya itu menunjuk ke satu hal: keluar dari zona nyaman (comfort zone).
Ya. Keluar dari zona nyaman itulah yang sering jadi kendala bagi kebanyakan dari kita. Memaksa diri untuk meninggalkan cara pandang dan kebiasaan yang mengenakkan diri jelas tidak mudah, apalagi manusia memang dikenal sebagai mahluk yang tidak suka dengan perubahan. Siapa yang mau meninggalkan keasyikan dalam berlama-lama bermain jejaring sosial? Siapa yang bisa menangkis godaan untuk sering hang out bersama teman-teman? Dan tidak ada yang menyangkal nikmatnya bangun jam 11 siang setelah malamnya nonton bola atau main game online. Itulah zona nyaman mahasiswa. Menyenangkan untuk dijalani, tapi tidak akan membawa kita kemanapun, karena kita akan menjadi setitik buih yang larut dan hanyut bersama aliran sungai, kemanapun aliran itu membawa kita. Dan sebagai buih, tidak ada orang lain yang memperhatikan kita. We have nothing worth to look at.
Jadi keputusan untuk berani keluar dari zona nyaman adalah keputusan yang luar biasa. Luar biasa karena kita bersedia untuk menjalani segala ketidaknyamanan demi sesuatu yang belum jelas hasilnya. Lho kok belum jelas? Iya lah. Siapa yang bisa menjamin setelah kerja keras lalu hasilnya pasti menang? Tidak ada. Buktinya, tim-tim JTETI yang ikut Imagine Cup sebelumnya belum ada yang berhasil menjadi juara. Kurang kerja keras apa mereka dalam mempersiapkan diri? Sekali lagi, tidak ada jaminan keberhasilan untuk mendapatkan kemenangan dan ketenaran setelah kerja keras yang kita jalankan. Lalu manfaat apa yang bisa dipetik dari kesediaan untuk keluar dari zona nyaman tadi?
Well…keluar dari zona nyaman itu sebenarnya sebuah proses pendidikan dan pelatihan. Kita dididik dan dilatih untuk menjadi lebih baik, dalam banyak hal. Kalih, Sonny, dan Syukron jelas sekarang adalah anak-anak yang punya kompetensi tinggi dalam hal teknologi pengembangan software. Tapi sebenarnya bukan itu saja. Pelatihannya juga menggembleng aspek kepribadian dan cara pandang. Saya yakin mereka sekarang menjadi orang yang bisa lebih sabar, lebih tekun, lebih bisa menghayati pentingnya usaha dan pengorbanan, dan jelas lebih pede. Setelah lomba kemarin, pasti sekarang mereka bisa mengatakan,”Kami juga bisa!”. Cara pandang mereka sekarang terhadap berbagai hal yang mereka hadapi pastilah beda dibandingkan dengan dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar